Layaknya baju berwarna merah. Jika satu lemari diisi dengan baju merah, efek yang gue temukan adalah bosan dan mau marah. Walaupun pada kenyataannya gue adalah penggemar warna merah.
Lain halnya dengan adanya warna putih yang menambahkan efek bersih, ketenangan, itu yang selalu gue dapatkan dari warna putih. Atau hijau, yang sangat menyejukkan mata, membuat amarah menjadi redup.
Perbedaan warna sukses membuat lemari gue jadi tidak biasa. Jadi meriah. Dan membuat hati menjadi sumringah!
Tapi kenapa, perbedaan lain di luar lemari, menjadi hal yang kadang hiperbolisnya membuat kepala menjadi hampir pecah bahkan airmata pun ikut berkontribusi merasakan pedihnya efek yang ditimbulkan.
Perbedaan warna rambut misalnya, beruntunglah para pemilik warna rambut yang tidak gelap (baca: hitam, agak hitam dan hampir hitam). Terkadang orang-orang tertentu masih menganggap mereka lebih superior di satu, dua, bahkan banyak bidang. Bahkan sampai ada orang ekstrim yang bilang “gue nggak suka ada orang berambut gelap kerja di tempat gue, no matter what!.”
(Oh please, hare geneee, is it still necessary to be so dumb to judge people just by their “colours”? NO!)
Hingga kadang orang-orang berambut gelap pun harus “meringkuk di bawah selimut” tanpa punya kesempatan untuk menampilkan kebolehan mereka.
Begitu pula dampak perbedaan yang sampai-sampai harus berkontribusi sebagai alasan berakhirnya kisah kasih 2 orang yang pernah saling menyayangi –unconditionally.
Beda prinsip, kasta, adat, suku, pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya, menurut gue sangatlah memprihatinkan kalau sampai menjadi alasan utamanya. Karena sudah seharusnya di jaman “buzz!, ping!, nudge!” seperti sekarang ini hal seperti itu tidaklah menjadi alasan berakhirnya kisah kasih melainkan membuatnya menjadi lebih berwarna –seperti lemari baju gue.
Apa yang sudah gue lakukan buat perbedaan yang ada?
Yang sudah mulai gue lakukan adalah yang tergampang menurut gue (seperti urutan dalam mengerjakan soal ujian).
Menerima dan memahami.
Menerima lalu paham akan kenyataan bahwa semua hal, semua sifat, semua sikap dari orang lain, tidak 100% sama dengan yang ada di diri gue. (Thank God! :p ) –otherwise, orang-orang bakalan capek kupingnya dengerin ada orang ngomong susah stopnya.
Jikalau ada orang-orang dalam hidup lo yang super nggak tau diri, sampai-sampai elo mikir “salah apa ya gue dulu, di kehidupan sebelumnya, kok sampe kayak gini karmanya?” atau hypothetically, kalau elo ngerasa cocok, sayang, sama seseorang tapi terus berfikir “tapi dia itu bukan tipe gue banget, gue sukanya yang pendiem, tapi ni orang malah super pecicilan, she/he is a big NO NO” elo nggak sendirian dan gue rasa itu bukan alasan untuk mengakhiri harapan dan membenci perbedaan.
Kalau hari ini, ketemu 1 orang yang nggak tau diri, anggap aja itu investasi buat ketemu 1000 yang menyenangkan di hari esok. Kalau elo ketemu seseorang yang katanya “bukan tipe gue banget” please be honest, at least to yourself tentang apa yang lo rasa. Jalanin aja dulu, coba dulu, jangan nyerah dulu.
Karena nggak akan ada yang tau rasa mangga itu manis atau asam kalau cuma diliatin dan berasumsi sendiri, tanpa dikupas-potong-makan (yum? or yuck?).
Have a Perfect day!
Bisous,
LpW
No comments:
Post a Comment